M. Arie Darmawan , June 14 2024
Dalam kondisi sosial dan lingkungan yang mengalami degradasi akibat eksploitasi yang berlebihan, perusahaan semakin menyadari bahwa mereka bersama stakeholder berharap mampu mencapai tujuan sosial dan lingkungan, selain tujuan finansial demi keberlanjutan perusahaan.
Menurut New York University Center for Sustainable Business, hampir setiap konsumen cenderung lebih menyukai kategori produk yang bersifat sustainable. 50% dari pertumbuhan penjualan makanan kemasan antara tahun 2013 dan 2018 berasal dari 17% produk yang mengusung atribut sustainable pada iklannya, seperti pengadaan FairTrade.
Mengikuti tren ini, value proposition perusahaan coklat misalnya, tidak hanya mencakup rasa dan tekstur yang lezat, namun disertai juga dengan sertifikasi meningkatkan kualitas hidup para petani kakao, berkurangnya degradasi lingkungan dalam budi daya biji kakao, serta tidak adanya pekerja di bawah umur.
Selain itu tuntutan konsumen akan transparansi dan akuntabilitas juga meningkat. Dengan demikian perusahaan harus beralih dari keputusan pembelian jangka pendek (terutama didorong oleh harga), menjadi pembelian jangka panjang dengan penetapan harga yang bertujuan mendorong pengentasan kemiskinan di antara produsen utama mereka (Proses produksi dan distribusi yang berkelanjutan, serta praktik ketenagakerjaan yang aman dan etis).
Bangkitnya Ekosistem Inklusif
Semua perubahan ini secara mendasar mengubah cara menjalankan usaha terkait pelanggan, karyawan, pemasok, komunitas, dan pemerintah daerah. Dulu perusahaan berupaya mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari rantai nilai industri mereka. Namun sekarang, perusahaan yang ingin memenuhi harapan pemegang saham dan masyarakat harus bekerja sama dengan banyak pihak untuk menerapkan strategi “win-win” yang menguntungkan semua pihak dalam ekosistem.
Dalam artikel Harvard Business Review tahun 2018, Robert S. Kaplan, George Serafeim, dan Eduardo Tugendhat mengilustrasikan bagaimana perusahaan dapat bergabung dengan perusahaan lain, organisasi nirlaba, dan komunitas dalam suatu jaringan yang menciptakan nilai ekonomi sekaligus mengatasi kemiskinan, pengucilan sosial, serta degradasi lingkungan.
Tantangan dalam Triple Bottom Line
Perusahaan yang ingin menerapkan strategi pertumbuhan inklusif harus mengatasi keterbatasan dari sistem yang hanya memprioritaskan tujuan keuangan. Dalan hal ini Balanced Scorecard (BSC) mampu mengatasi keterbatasan dari sistem manajemen tradisional ini dengan memperkenalkan dua tools utama serta fungsinya yaitu:
Perspektif BSC ini berfungsi dengan baik di dunia komersial. Dengan sedikit modifikasi, Peta Strategi dan Scorecard juga terbukti bermanfaat di sektor publik, khususnya dengan memperkenalkan metrik non-keuangan, yang memungkinkan lembaga pemerintah atau LSM bisa mempertanggungjawabkan kinerjanya kepada masyarakat dan stakeholders.
Perspektif keuangan (umumnya berupa nilai atau hasil akhir) kini didukung oleh perspektif triple bottom line yang ditempatkan di atasnya. Perspektif ini menyoroti proses organisasi yang dibutuhkan untuk mendorong tujuan sosial, lingkungan dan nilai ekonomi.
Berikut bagan yang menggambarkan garis hubungan antar strategi dan berbagai hubungan antara ekosistem dalam peta strategi:
Redefinisi Perspektif dalam BSC
Untuk mencapai triple buttom line, kita telah mengubah perspektif teratas pada Peta Strategi dari Financial menjadi Outcomes untuk menyoroti manfaat yang didapat dari finansial, sosial dan lingkungan, yang ingin dicapai oleh ekosistem inklusif.
Selain manfaat finansial bagi setiap pemain yang mencakup pemasok kecil beserta keluarga mereka, komponen sosial dalam perspektif Outcomes juga dapat mencakup pengukuran dalam hal kesehatan, pendidikan dan lapangan kerja yang lebih baik untuk masyarakat lokal. Komponen lingkungan hidup dapat mengukur berkurangnya deforestasi, rendahnya emisi gas rumah kaca, air yang lebih bersih dan melimpah, serta berkurangnya degradasi tanah.
Ada perspektif dimana pelanggan dan Stakeholder sebagai entitas yang berbeda dianggap sebagai entitas yang tunggal, karena setiap Stakeholder dalam ekosistem harus diperlakukan sebagai “pelanggan”. Scorecard akan mencerminkan nilai yang diharapkan setiap pihak yang berpartisipasi aktif.
Misalnya dalam industri kesehatan seperti rumah sakit, selain setiap pasien berikut keluarga mereka, yang disebut pelanggan juga terdiri dari dokter, komunitas, akademisi dan investor yang mendapat manfaat dari program pendidikan dan penelitian.
Satu-satunya perspektif yang tidak memerlukan definisi ulang adalah Proses. Hal ini mencakup aktivitas kritikal yang harus dilakukan dengan sangat baik untuk memberikan nilai kepada seluruh stakeholders dan memungkinkan tujuan triple bottom line tercapai.
Seperti halnya dua perspektif di atas, perspektif final dan mendasar dari BSC perlu diperluas. Perspektif Learning & Growth yang diubah menjadi Pemberdaya (Enabler), mencerminkan beragam kapabilitas, yang diperlukan untuk keberhasilan implementasi. Sementara kapabilitas umum mencakup penggalangan dana eksternal, pengoperasian di bawah struktur tata kelola yang baik, komunikasi yang luas dan terbuka di antara semua karyawan, serta akuntabilitas bersama atas pelaksanaan strategi dan hasilnya.
Penulis:
Muhamad Arie Darmawan
Chief of Strategy and Execution - One GML
Editor:
Ivan Mulyadi
Sumber: HBR – Kaplan & McMillan
Jika ada informasi yang ingin ditanyakan, silakan Chat WA Customer Service & Social Media kami:
M. Arie Darmawan , June 14 2024
Tingginya tantangan seorang pemimpin dalam menggerakkan orang yang dipimpin, membuat kita sering mendengarkan cukup banyak pernyataan yang sering diutarakan seorang...
M. Arie Darmawan , June 14 2024
Elnusa Raih Penghargaan Bergengsi SPEx2 DX Award...
M. Arie Darmawan , June 14 2024
Apakah selama ini Anda mengira sedang bersaing dengan perusahaan kompetitor? Kenyataannya bukan hanya antar perusahaan yang bersaing, melainkan persaingan kompetens...
2024 © ONE GML Consulting