Tjhung Hertanto , February 03 2021
Saat ini dunia bisnis telah berada dalam era persaingan yang kompetitif. Setiap perusahaan saling berlomba untuk menjadi pemenang yang sukses. Dan untuk mencapai kesuksesan, setiap perusahaan berusaha meningkatkan kinerja dari setiap unsur dalam perusahaan, salah satunya adalah karyawan yang mana merupakan aset penggerak roda bisnis perusahaan.
Setiap karyawan dituntut untuk mampu meningkatkan profesionalitas dan kompetensi diri mereka sendiri. Setiap tahun, perusahaan mengeluarkan investasi yang luar biasa besarnya untuk melakukan kegiatan pelatihan atau training bagi asetnya.
Kegiatan ini berfungsi untuk meningkatkan daya saing karyawan. Kegiatan training akan bermanfaat bila didaya-gunakan secara tepat dan baik, dan tentunya akan berdampak baik pula terhadap kinerja seluruh perusahaan.
Pelatihan diharapkan dapat menjadi kunci dalam mem-boosting kinerja karyawan. Dan kunci “Sukses” suatu pelatihan tidaklah datang secara tiba-tiba dalam pelatihan itu sendiri, namun dimulai dari “Engaging Design” yang tepat guna terhadap materi ajar kepada target peserta yang tepat juga.
BAGAIMANA MENENTUKAN ENGAGING DESIGN YANG TEPAT GUNA?
Hal yang paling mendasar dalam penerapan “Engaging Design” adalah tidak hanya berfokus pada pembuatan materi pelatihan yang di-desain semenarik mungkin secara “look & feel” saja, namun harus memberikan manfaat nyata bagi peserta melalui proses “learning experience” yang tepat, menarik, dan mampu membantu mereka dalam melakukan peningkatan kompetensi juga dibidang pekerjaan mereka masing-masing.
Mengacu dari hal tersebut, tentu perlu adanya pemahaman terkait dengan proses dari “Engaging Design” itu sendiri. Proses ini dimulai dengan terlebih dahulu memetakan learning journey dalam kurikulum pelatihan untuk mengisi gap kompetensi peserta agar bisa mengembangkan potensi secara optimal. Jika learning journey ini telah terpetakan, maka proses berikutnya adalah bagaimana kita menentukan dan memahami tentang APA target yang hendak dicapai, SIAPA target pesertanya, MENGAPA dibutuhkan, KAPAN dibutuhkan, dan BAGAIMANA memilih metodologi yang tepat.
Pemahaman tentang proses “Engaging Design” diatas tentu harus bersinergi dengan perkembangan teknologi digital saat ini yang melaju secara pesat. Hal ini membuka peluang untuk melakukan pengayaan metodologi yang sebelumnya hanya mengandalkan konvensional saja, namun saat ini sudah bisa dikombinasikan dengan pembelajaran self-learning melalui e-learning baik melalui laptop maupun melalui smartphone. “Engaging Design” di era globalisasi digital ini menuntut perubahan adaptasi yang cepat. Dan salah satu model terbaik yang sering digunakan dalam pengembangan desain kurikulum pelatihan adalah Taksonomi Bloom.
MENGENAL TAKSONOMI BLOOM
Didunia edukasi, tentunya istilah Taksonomi Bloom bukanlah hal baru. Taksonomi ini pertama kali diperkenalkan oleh Benjamin S. Bloom pada tahun 1956 untuk tujuan pendidikan.
Dalam model taksonomi ini, tujuan pendidikan dibagi menjadi 3 domain besar yang disusun berdasarkan hirarkinya. Ketiga domain tersebut adalah:
Sebagai seorang edukator, umumnya model taksonomi ini digunakan untuk mengembangkan kurikulum, asesmen, dan strategi dalam desain instruksional materi pembelajaran konvensional. Dengan adanya model ini, sangat membantu edukator untuk menentukan tujuan pembelajaran dan mendesain metodologinya berdasar tahapan daya pikir dalam menyerap pembelajaran.
Dan pada tahun 1990-an, model ini diadaptasikan kembali oleh David Krathwohl dan Lorin Anderson, agar bisa tetap relevan digunakan dengan pola pembelajaran pada abad 21. Di model ini, tetap diperkenalkan 6 tahapan, yaitu:
Seiring berkembangnya zaman dan teknologi digital, sering kali ditanyakan, akankah model taksonomi ini masih mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi komunikasi saat ini? Dan bagaimana teknologi digital ini berpengaruh pada desain instruksional dalam pengembangan metodologi pembelajaran?
ADAPTASI MODEL TAKSONOMI DALAM ERA TEKNOLOGI DIGITAL
Perkembangan teknologi digital secara tidak langsung berdampak pada adaptasi penyesuaian penerapan dalam taksonomi ini. Hal ini dikarenakan terjadinya pergeseran pola pembelajaran dari target pembelajar atas penyerapan teknologi digital saat ini.
Dari penyerapan teknologi ini menyebabkan terjadinya penyesuaian pola desain instruksional, dimana teknologi digital dirangkul sebagai salah satu tools ataupun media delivery untuk membantu learning experience yang berbeda bagi peserta. V
ariatif metodologi berbasis digital berkembang dengan cepat dan memiliki fleksibilitas tinggi untuk mendukung pencapaian tujuan pembelajaran di era abad 21 ini, seperti: penggunaan media video-audio, multimedia, blog, artikel, online class, game online, sosial media, dan lain sebagainya yang bisa dengan mudah diakses via smartphone untuk belajar dimanapun dan kapanpun.
Kombinasi ini ternyata cukup sukses dalam mendukung peningkatan keterampilan komunikasi, kolaborasi, kreatifitas, dan pola berpikir kritis dan analitik. Hal ini diperkuat dari hasil survei yang dilakukan oleh HubSpot Consumer Behavior Survey pada tahun 2016.
Dari hasil survei ini, sebagian besar responden lebih tertarik untuk belajar tanpa terbatas ruang dan waktu, serta keleluasaan untuk memilih konten yang disukai sesuai kebutuhannya saat tertentu. Dari grafik dibawah juga terlihat bahwa pembelajaran berbasis digital ini, video dan sosial media merupakan media yang paling diminati.
ADAPTIVE LEARNING DESIGN
Perkembangan pada abad 21 ini membawa perubahan yang besar terhadap pola perilaku dari pembelajar. Oleh karenanya, penyesuaian metodologi dalam desain instruksional harus dilakukan, yang mana saat ini mulai banyak dikenal dengan metode Adaptive Learning Design.
Adaptive Learning Design adalah tipikal pembelajaran yang berkonsentrasi pada analisa terhadap pola sukses terdahulu dan hasil pelatihan sebagai basis untuk meningkatkan strategi pelatihan dimasa mendatang agar mencapai tingkat keberhasilan yang optimal. Metodologi ini sangat berguna dalam mendorong tercapainya efektifitas dari pelatihan.
Metode ini menjadikan pembelajaran semakin personalized untuk mengisi gap kompetensi peserta dan semakin mendidik peserta untuk berperan aktif dalam melakukan pengembangan diri. Tentunya penerapan metodologi ini secara benar dan tepat mampu mengarahkan proses pembelajaran pada hasil yang signifikan dalam segi kualitas pengajaran yang ingin dicapai.
Tjhung Hertanto
Digitalization Chief of Tribe
Jika ada informasi yang ingin ditanyakan, silakan Chat WA Customer Service & Social Media kami:
Tjhung Hertanto , February 03 2021
Saat seseorang ditempatkan menjadi Kepala Unit Manajemen Strategi dan Kinerja, maka ia akan mengelola sekaligus memonitor progress strategi dan kinerja organisasi. ...
Tjhung Hertanto , February 03 2021
Peran teknologi sudah bergeser signifikan dan semakin bersentuhan langsung dengan berbagai aspek kehidupan. Mulai dari aktivitas bekerja, belajar, sampai belanja da...
Tjhung Hertanto , February 03 2021
...
2024 © ONE GML Consulting